Gagak
Sandoro
Aku pernah ke tempat ini sebelumnya. Berulang kali aku ke tempat ini, berulang kali pula ada sebuah rasa sakit. Mungkin seperti tusukan di perut. Seingatku, jalan ini pernah berhasil membuatku ingin menangis. Tapi bukan tangisan yang penuh dengan derai air mata. Hanya sebuah perasaan yang tak terbendung dalam jiwa. Nafasku mendadak memburu. Tersengal. Putus-putus. Berkali-kali kucoba bertahan untuk menahan tangisan itu dengan menggigit bibir bawahku. Nihil, itu hasilnya. Meski demikian aku tetap memaksakan untuk tetap datang ke tempat ini.
Waktu
itu, kausedang memakai kaos berwarna merah dan celana jeans pendek. Duduk di
bawah pohon rindang dengan sisa hujan yang turun semalam. Dalam suasana seperti
ini, hal yang kuinginkan adalah hujan kembali turun, agar aku bisa
mengenakannya jaket atau merangkul pundaknya, seperti film roman yang sering
kutonton. Tapi khayalan itu tidak terjadi. Mungkin saja saat ini Tuhan tidak
sedang dipihakku. Malahan kauberlari-berlari dengan sekumpulan anak kecil yang kebetulan
bermain ke tempat ini, membiarkan aku di sini—sisi sudut yang tak pernah
kaulihat
.
.
Rambut
yang semula terkuncir satu di belakang, kini kaumelepaskan kuncir berwarna
merah itu. Membiarkan rambutmu yang bergelombang ikut meliuk-liuk atau
beterbangan saat kausedang berlari mengejar anak-anak kecil itu.
Mungkin
dengan mendekatimu yang sedang bermain, kaubisa mengajakku. Namun, kau tetap bergeming.
Sekali kauberhenti untuk melihatku dengan tatapan hambar, kemudian kembali
berlari dengan anak kecil itu, membiarkan aku sendiri di tempat ini. Sama
seperti sekarang.
Apa
kabar perempuan itu? Pertanyaan semacam ini kerapkali muncul dan menyesaki
pikiranku. Kadang saat aku mengerjakan pekerjaan, sedang makan atau saat tidur
sekali pun. Pertanyaan ini tidak pernah mau berkompromi kalau aku juga ingin
merasakan suatu kebebasan. Aku tidak ingin ada beban. Sudah berbagai macam cara
diperbuat untuk mengalihkan pertanyaan ini dibenakku. Tapi dadaku terasa sesak.
Nafasku menjadi satu-satu. Limbung. Pertanyaan ini seperti mencekikku. Well,
aku membiarkan pertanyaan itu terus datang dan hidup dalam otakku.
Kali
ini, kuprogram sensor motorikku untuk melangkah perlahan. Agar semua kenangan
di setiap jengkal tanah yang telah kulewati sore ini dapat terhisap di telapak
kakiku: indah atau pun buruk.
Dalam
perjalanan di jalan setapak itu, aku harap menemukan kembali perasaan seperti
dulu. Bukan seperti sekarang. Karena, aku benci dengan keadaanku yang seperti
ini. Sangat benci. Kuhidup dalam bayangan masa lalu. Terutama bayangan
tentangmu. Perasaan seperti ini bukan hanya sekadar akibat dari rasa suka atau
kagum. Ini empati. Empati yang tak terbalas. Rasa yang tak bertuan. Ah ....
Di
hari Minggu pukul tujuh, kau selalu membawa buku cerita untuk membacanya di
puncak bukit, di bawah pohon cemara udang yang rindang serta tinggi menjulang.
Di tempat kaududuk pula ada sebuah makam kecil tentang masa lalumu. Masa lalumu
yang membuat aku cemburu. Cemburu pada orang yang telah mati tapi berhasil
hidup di benak jiwamu. Mantannya ada di mata perempuan itu. Nafasnya,
senyumnya, tutur katanya, hingga yang tersisa untukku adalah puing-puing
harapan.
Kauangkat
wajahmu. Sedetik kita bertatap mata dari jaraknya yang jauh dari tempatku
berdiri. Tapi aku tahu kau menatapku untuk segera pergi. Pandangan di matanya
mengartikan aku tidak boleh memerhatikannya. Karena dia ingin sendiri.
Menikmati semua kenangan bersama mantannya di bawah pohon.
Aku
mundur perlahan. Melangkah satu-satu sembari berdoa kalau saja perempuan yang
duduk di sana dibuat lupa hingatan oleh Tuhan. Kumembalikan badan dan menuju
dipan rumah kita. Kembali membaca koran dan menyesap kopi yang kaubuatkan
untukku tadi.
Kalau
biasanya kuselalu meminum kopi panas, tapi sekarang kopi itu kubiarkan dingin
terlebih dulu. Layaknya hatiku yang dibiarkan dingin oleh perempuan itu. Hambar.
Atau apa saja nama yang pas untuk keadaanku sekarang ini.
Pandangan
mata ini masih berada di bibir cangkir kopi yang telah dingin. Membayangkan
wajahnya yang berada di kopi pekat itu. Dia tersenyum untukku. Membacakan
sebuah buku cerita dan sesekali dia bersandar di pundakku. Mungkin saja ini
akan terasa indah. Tapi apa hal seperti ini akan terjadi? Kurasa tidak. Lama
kutepekur di bibir cangkir, aku terlonjak dengan sebuah tangan yang menepam tangan
kiriku. Sembari mengatur napas, aku menundukan wajahku. Aku tahu kalau kau
sedang memperhatikanku tapi itu hanya sebentar saja karena setelah itu kau pun
mengarahkan pandangan ke arah puncak bukit.
Kucoba
untuk menekuri bibir cangkir kembali, sambil menunggu kesempatan kaumemalingkan
wajahmu ke arahku, seperti tadi. Lama aku menunggu kesempatan yang tidak
kunjung datang, kumenapak-nepakan lengan kursi dengan jari telunjuk dan tengah
agar dia memalingkan pandangannya padaku. Namun, sia-sia juga yang telah aku
lakukan. Lehermu seperti terbuat dari besi. Kaku. Bahkan untuk memalingkan ke
arahku.
****
Saat
sampai di rumah, kaulangsung masuk dan menyalakan lampu di balkon. Kau tidak
bicara untuk menyegarakanku masuk. Lima langkah dari teras rumah, disitulah aku
berdiri. Berdiri mengharap perhatian kecil yang tak kunjung aku dapat.
Kumenundukan pandangan sembari menahan gejolak perasaan yang terasa. Aku tahu,
kau sedang berdiri di daun pintu memerhatikan hujan yang segera turun. Matamu
itu tidak sekali pun melihatku. Sekelebat kilat dan petir nyaris bersamaan
dengan tanganmu menutup wajahmu. Kau kembali masuk ke dalam rumah lalu menutup
pintu. Cepat sekali reaksimu tanpa memerhatikan aku yang sedang ada di depanmu.
”Apa kamu tidak melihatku? Apa
terlalu sulit untuk memanggil namaku?” desisku bersama dengan
tetes pertama turunnya hujan.
Aku
terbayang dengan bibir merah mudamu itu. Di bibir itu seperti ada kunci abadi
yang tak bisa terbuka oleh apapun terhadapku. Bahkan, saat kau mengucap janji
suci kita. Aku dan perempuan yang berada di dalam rumah. Bibirmu tidak
bergerak. Aku seperti bermonolog kala itu. Sebenarnya rumah ini adalah rumah
kita. Tapi, entah, di sini aku seperti berada di hutan. Sepi. Mencekam.
Air
yang turun dari langit semakin deras. Dengan gemuruh petir dan kilat memaksaku
untuk segera pergi. Aku mengenakan jaket yang pernah kusiapkan untukmu. Untuk
menghangatkanmu. Untuk kaupeluk. Untuk menemanimu saat pergi ke puncak bukit.
Jaket ini kukenakan dengan erat. Erat sekali.
Lidahku
menjilat air yang turun dari hidung. Entah air yang kujilati itu air hujan atau
air mata. Yang pasti ini terasa asin. Aku menerpa hujan angin yang membuat
kendali sepeda motorku limbung. Dalam keadaan seperti ini, aku ingin tahu
selama aku berada di sisi perempuan itu, berapa banyak yang kutahu tentang
dirinya. Aku menghentikan motor pada sebuah persimpangan. Lampu merah. Di sisi
kiri-kananku terlihat orang-orang yang penuh dengan pikiran masing-masing. Apa
salah satu dari mereka berpikir mengapa ada perempuan yang begitu dingin.
Mataku menatap lampu tiga warna itu tanpa tuju.
GS
Juli 2013
this is good post.. makasih....
BalasHapusTitip yaa, terima kasih
BalasHapusMau bikin kartu kredit?