Jumat, 19 April 2013




Judul buku      : Blueberish
Pengarang       : Ragil FA
ISBN               : 978-602-98532-7-8
Penerbit           : Indie Book Corner
Halaman          : 147 halaman

           
“Teman itu bukan dinilai dari tangannya, tapi mengapa aku menjadikanmu seorang teman”, ya, itulah salah satu kata manis yang saya kutip pada dialog di halaman 13. Seperti logline dalam novel ini, cerita di dalamnya pun amasih berkutat dengan dunia percintaan. Namun pengarang mencoba keluar dari sudut pandang orang kebanyakan. Bagaimana kalau cinta itu muncul pada teman kita sendiri? Ya, memang bisa dan itu wajar. Tapi pertanyaan lain datang, bagaimana kalau teman sesama jenis? Ya, bisa saja.
            Tuhan menciptakan rasa cinta, kasih dan sayang hanya untuk manusia. Tugas manusia hanya menunggu cinta itu kapan datang, kapan bersemi dan akhirnya kapan hilang kembali. Tuhan menciptakan cinta secara utuh. Namun, tidak setiap manusia untuk bisa mendapatkannya.
            Itulah yang terjadi pada alur cerita di dalamnya. Saat membaca novel ini, kita akan disuguhkan pada bahasa indah, puitis dan membuai. Namun, dari situ pula kelemahan datang. Dengan adanya bahasa yang indah dengan segala perumpaan yang ada, kita kerapkali dibuat mengerutkan kening. Atau bisa saja mengulangi bacaan beberapa kali untuk bisa mengerti apa maksud dari kalimat yang disampaikan sang pengarang.
            Setting yang terjadi pada novel ini terdapat di sebuah pesantren. Asumsi saya, pengarang masih belum mendalami dunia kepesantrenan atau masih mengalami riset yang terkesan “mentah”. Kenapa saya berkata demikian, dalam beberapa bab, setting yang terjadi seperti sebuah tempelan. Saya pernah berpikir kalau setting itu diubah menjadi sebuah sekolah, masjid, langgar atau pun rumah sekali pun tidak  akan mengalami perubahan yang berarti. Pembaca masih mengerti tujuan dari novel ini.
            Bagaimana dengan masalah konflik? Sama halnya setting. Konflik di sini terlalu memblur. Tidak ada konflik yang memuncak. Di novel ini hanya terdapat konflik batin pada setiap tokoh. Membuat pembaca seperti melihat adegan yang terpotong. Itu saja.
            Menurut saya, kekurangan yang begitu mencolok adalah sudut pandang pencerita. Di satu bab, pengarang menuliskan POV ke-1. Namun di bab yang lain pengarang membuat POV menjadi ke-3. Memang hal itu sah-sah saja tapi memasukan dua sudut pandang pencerita yang berbeda dalam satu karangan butuh keahlian khusus. Kekurangan kedua berada di karakter setiap tokohnya yang masih terlihat begitu lemah. Menurut pertimbangan saya unsur kausalitas(sebab-akibat) masih di abaikan dalam novel ini. Perubahan karakter setiap tokoh terjadi begitu dinamis dan terkesan cepat. Satu hal lagi, mungkin karena dampak perubahan POV pada setiap bab, kita akan dibuat lupa mengenali tokoh-tokohnya.
            Well, berkenaan masalah amanat, novel ini banyak sekali amanat tersirat tentang cinta yang universal. Cinta yang terkadang di luar logika manusia. Dan untuk para pembaca yang ingin menambah kosa kata dapat membaca novel ini dengan segala perumpaan yang dituturkan secara manis. Atau ingin membuat suasana cerita dengan literer di sini terdapat beberapa contoh yang bisa di pelajari. Itu.
18 April 2013.