Gagak Sandoro
Satu titik telah memecah keheningan yang memendam. Jauh. Hingga pada kabut yang berlarut dalam perlingan semburat. Angin laut menghembuskan pesona yang tidak ada duanya. Badanku tak sabar untuk bisa menyaksikan dengan kedua mataku yang kecil pada satu sosok keindahan yang mengangkasa. Angkasa yang turut menyisakan kenangan pada galaksi.
Goyangan lembut membelai ratusan rambut yang telah memutih kendati belum waktunya. Masih teringat satu kenangan yang tersimpan dalam kotak langit yang berpenghuni tujuh bidadari. Di angkasa sana.
“Kapan kau kembali?”
“Apa mesti harus kujawab.”
“Ya, dengan sangat.”
“Apa perlumu?”
“Tidak ada ....”
“Oh, yasudah, jika kau tidak perlu apa-apa denganku kenapa mesti menanyakan itu? Kau menyuruhku pulang. Berarti kau telah menyuruhku untuk mati. Kau mau aku mati?” itu katamu yang terdapat penekanan di akhir kalimat.
“Semua orang telah melupakan masa lalumu. Ayolah!”
Satu percakapan singkat sebelum perempuan itu membuka pertunjukannya. Di bawah jatuhan sinar bulan yang seolah tersenyum pada kami, sudah banyak kapal yang telah merapat. Lampion dengan berbagai warna membuat relasi bintang baru di tengah laut yang surut.
“Dia mulai beraksi, Bung.” Ucap salah satu kawan yang berbeda perahu di sisi lain.
Goyangan-goyangan di laut yang begitu temaram mengiri hentakan senar kecapi yang mengalun. Rendah nada pukulan gamelan yang tidak seberapa jumlahnya, tapi tetap saja masih bisa menikmati keayuan perempuan itu. Dia menghentak-hentakan pinggulnya, tangannya membelai angin yang berdesir. Dia tersenyum. Matanya yang membintang diangkasa malam menampakan keteduhan yang keras. Aku tersenyum dalam riuh rendah tepuk tangan yang membahana. Aku membayangkan mata yang seteduh itu untukku.
“Kau hebat, Nur.”
Dia memandangku dengan lama. Lama sekali.
“Kau mau mengajakku untuk pulang? Jika iya, maka percuma saja. Karena pun kau sudah tahu jawabannya.”
“Berikan aku satu alasan untuk tidak mengajakmu pulang?”
“Kenapa? Sebenarnya apa urusanmu selalu mengajakku untuk pulang?”
“Kau tidak kenal denganku tapi aku sangat bahkan tahu seluk belukmu tapi ....”
“Kenapa aku memilih untuk menjadi seorang penari di atas perahu?”
Aku mengangguk.
“Aku membutuhkan makan. Butuh untuk bisa mengirimkan sekaleng susu untuk anakku. Aku tahu aku pernah melakukan dosa. Toh, aku juga butuh hidup yang perlu di hargai juga.”
“Selain itu?”
“Karena aku ingin selalu merindukan bagaimana rasanya tersenyum. Kau tahu, aku lupa untuk bagaimana rasanya tersenyum puas untuk saat ini. Tapi aku tahu bagaimana caranya untuk orang lain untuk bisa tersenyum ataupun tertawa karenaku. Itu saja untuk bisa mengobati rasa sakit yang selalu aku alami. Dengan seperti inilah caranya.”
Kepalaku mendongak, mataku menembus batas. “Perempuan ini terlalu kuat, baik atau naif,” batinku berucap.
Kopi hangat yang kubeli di warkop tepi pantai terasa pahit di tenggorokanku. Pahit membayangkan betapa beratnya hidup saat kau tergeletak lemah dengan kepala yang telah membusuk. Tidak itu saja, seluruh tubuhmu telah terpotong-potong layaknya sate. Dan organ dalammu terbiarkan terburai. Mengapung di tengah laut. Mengayun-ayun mengikuti ritme ombak di laut yang telah memerah karena darah. Bau amis itu masih terasa saja di hidungku.
“Bisakah kau bantu aku untuk bertemu anakku?” satu tanya terakhir sebelum hari naas itu terjadi. Siapa yang telah tega melakukan itu semua. Aku merutuk pada angkasa yang selalu menjadi saksi bisu.
FF Inspirasi-Ku SATU