“Larutan Senja”
Gagak Sandoro
Judul Buku: Larutan Senja
Pengarang: Ratih Kumala
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (GPU)
Halaman: v+145 halamanISBN: 979-22-2029-1
Tahun Terbit: Maret 2006
Saat berbicara tentang sebuah keburukan, kebelengguan, keberanian ataupun ketidakberanian sekalipun seseorang masih berada di dalam dimensi warna yang sama. Abu-abu. Bukan hitam, apalagi putih. Itulah kesan yang ditonjolkan dalam kumpulan cerpen ini.
Pengarang: Ratih Kumala
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (GPU)
Halaman: v+145 halamanISBN: 979-22-2029-1
Tahun Terbit: Maret 2006
Saat berbicara tentang sebuah keburukan, kebelengguan, keberanian ataupun ketidakberanian sekalipun seseorang masih berada di dalam dimensi warna yang sama. Abu-abu. Bukan hitam, apalagi putih. Itulah kesan yang ditonjolkan dalam kumpulan cerpen ini.
Gambar diambil dari google |
Ketika kita telah berada di titik
akhir cerita pertama dalam buku ini, 'Sang Paradji', akan terbekas ketakutan
Nastiti dalam benak kita atas sumpah yang diucapkan Paradji sebelum ia mati
dihunus pisau. “Nastiti seperti terikat, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Seluruh
tubuhnya mati rasa, tak bisa digerakkan … Nastiti sempat melihat tanda merah di
dada Dasih.”(Hal. 8)
Entah bagaimana seorang perempuan
bernama Ratih Kumala bisa bercerita dalam dua ruang yang berbeda, maksudnya,
Ratih Kumala bisa menjadi pencerita yang maskulin dalam cerita berjudul 'Tahi
Lalat di Punggung Istriku' dan 'Gin-Gin dari Singaraja'. Berbeda dengan cerita
berjudul 'Anakku Terbang Laksana Burung' yang begitu feminim dan keibuan.
Berikut cuplikan paragraf yang diambil dari cerita 'Anakku Terbang Laksana
Burung', “Aku tahu, dengan nalarku sebagai seorang perempuan sekaligus seorang
ibu, bahwa tubuhku telah menjadi dua. Ada benih yang telah dititipkan kepadaku,
dan aku memeliharanya dalam rahimku, mengubahnya menjadi sarang serupa burung
dalam peluk kasih sayang induk.” (hal. 108)
Dalam kumpulan cerpen ini, Ratih
Kumala yang bertindak sebagai Tuhan bagi alur cerita yang ia buat memberikan sebuah lukisan kehidupan pada
pembaca. Yang terkadang, lukisan itu tergambar dengan jelas di sekitar kita.
Bahkan di kanan-kiri kita. Cerita itu berjudul: 'Wanita Berwajah Penyok'.
Berjudul nyentrik namun tidak senyentrik isi ceritanya. Saat membacanya, kita
akan membayangkan sebuah perempuan disabilitas yang terpasung pada ruang sempit
yang tak bisa disebut manusiawi tepat berada di depan kita. Amat menyedihkan.
Setiap malam, ia selalu menunggu rembulan dari celah bilik tempat ia dipasung.
Ada hal yang berbeda, saat kita –
sebagai pembaca – memperhatikan setiap dialog yang berada dalam buku ini. Tanda
kutip dua yang menandakan dialog itu kesemuanya menghadap keluar. Kita ambil
contoh pada halaman 70,
”Benar Adik bertemu Kadek di
bis?” tanyanya.
Saya tidak berasumsi kalau ini
adalah sebuah kesalahan tanda baca yang luput di eksekusi oleh editor, namun
kesengajaan Ratih Kumala sebagai penulisnya sendiri karena hampir keseluruhan
mengalami hal yang sama. Tapi masalah terjadi lagi di cerita berjudul 'Pada
Sebuah Gang Buntu' dibagian epilog tanda kutip dua tertulis dengan benar,
menimbulkan kesan ketidakkonsisten sang pengarang.
Hal yang menarik dalam kumpulan
cerita ini terdapat gambar ilustrasi di setiap cerita. Memberikan kesan pertama sebelum benar-benar dihadapkan
pada cerita yang sebenarnya.s
Terakhir, Ratih Kumala mampu
mengantarkan imajinasi liarnya pada pembaca. Membuka sebuaah dunia baru
miliknya yang tak pernah dipikirkan oleh pengarang lain melalui kumpulan cerpen
ini.
GS Juni 2013
Tulisan yang bagus. Mampu membuat pembaca tertarik dengan buku.
BalasHapusSaya juga sangat suka tulisan Ratih Kumala. Walaupun masih beberapa saja yang saya baca.
Aku suka dari gaya menceritanya yang kadang misterius.
Hapus