Jumat, 28 Juni 2013

Kegelapan Yang Tersimpan di Dalam Hatimu

Larutan Senja”
Gagak Sandoro

Judul Buku: Larutan Senja
Pengarang: Ratih Kumala
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (GPU)
Halaman: v+145 halamanISBN: 979-22-2029-1
Tahun Terbit: Maret 2006

Saat berbicara tentang sebuah keburukan, kebelengguan, keberanian ataupun ketidakberanian sekalipun seseorang masih berada di dalam dimensi warna yang sama. Abu-abu. Bukan hitam, apalagi putih. Itulah kesan yang ditonjolkan dalam kumpulan cerpen ini.

Gambar diambil dari google
Sebagai pembaca kita langsung disuguhkan sebuah cerita pertama yang kelam, 'Sang Paradji', kisah yang menceritakan dukun beranak bernama Paradji yang dituduh menyantet suami Nastiti. Berikut cuplikan cerita pertama dalam buku ini, “Mereka bersorak laksana pesta, menjadikan siksaan sebagai kesenangan. Paradji tersungkur, kepalanya dipaksa mencium tanah. Lehernya diinjak hingga tersedak. Rambutnya yang putih dan panjang ditarik. Ia sebenarnya hanya nenek tua yang renta.” (hal. 2)

Ketika kita telah berada di titik akhir cerita pertama dalam buku ini, 'Sang Paradji', akan terbekas ketakutan Nastiti dalam benak kita atas sumpah yang diucapkan Paradji sebelum ia mati dihunus pisau. “Nastiti seperti terikat, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Seluruh tubuhnya mati rasa, tak bisa digerakkan … Nastiti sempat melihat tanda merah di dada Dasih.”(Hal. 8)

Entah bagaimana seorang perempuan bernama Ratih Kumala bisa bercerita dalam dua ruang yang berbeda, maksudnya, Ratih Kumala bisa menjadi pencerita yang maskulin dalam cerita berjudul 'Tahi Lalat di Punggung Istriku' dan 'Gin-Gin dari Singaraja'. Berbeda dengan cerita berjudul 'Anakku Terbang Laksana Burung' yang begitu feminim dan keibuan. Berikut cuplikan paragraf yang diambil dari cerita 'Anakku Terbang Laksana Burung', “Aku tahu, dengan nalarku sebagai seorang perempuan sekaligus seorang ibu, bahwa tubuhku telah menjadi dua. Ada benih yang telah dititipkan kepadaku, dan aku memeliharanya dalam rahimku, mengubahnya menjadi sarang serupa burung dalam peluk kasih sayang induk.” (hal. 108)

Dalam kumpulan cerpen ini, Ratih Kumala yang bertindak sebagai Tuhan bagi alur cerita yang ia buat  memberikan sebuah lukisan kehidupan pada pembaca. Yang terkadang, lukisan itu tergambar dengan jelas di sekitar kita. Bahkan di kanan-kiri kita. Cerita itu berjudul: 'Wanita Berwajah Penyok'. Berjudul nyentrik namun tidak senyentrik isi ceritanya. Saat membacanya, kita akan membayangkan sebuah perempuan disabilitas yang terpasung pada ruang sempit yang tak bisa disebut manusiawi tepat berada di depan kita. Amat menyedihkan. Setiap malam, ia selalu menunggu rembulan dari celah bilik tempat ia dipasung.

Ada hal yang berbeda, saat kita – sebagai pembaca – memperhatikan setiap dialog yang berada dalam buku ini. Tanda kutip dua yang menandakan dialog itu kesemuanya menghadap keluar. Kita ambil contoh pada halaman 70,
”Benar Adik bertemu Kadek di bis?” tanyanya.
Saya tidak berasumsi kalau ini adalah sebuah kesalahan tanda baca yang luput di eksekusi oleh editor, namun kesengajaan Ratih Kumala sebagai penulisnya sendiri karena hampir keseluruhan mengalami hal yang sama. Tapi masalah terjadi lagi di cerita berjudul 'Pada Sebuah Gang Buntu' dibagian epilog tanda kutip dua tertulis dengan benar, menimbulkan kesan ketidakkonsisten sang pengarang.

Hal yang menarik dalam kumpulan cerita ini terdapat gambar ilustrasi di setiap cerita. Memberikan  kesan pertama sebelum benar-benar dihadapkan pada cerita yang sebenarnya.s
Terakhir, Ratih Kumala mampu mengantarkan imajinasi liarnya pada pembaca. Membuka sebuaah dunia baru miliknya yang tak pernah dipikirkan oleh pengarang lain melalui kumpulan cerpen ini.

GS Juni 2013


2 komentar:

  1. Tulisan yang bagus. Mampu membuat pembaca tertarik dengan buku.

    Saya juga sangat suka tulisan Ratih Kumala. Walaupun masih beberapa saja yang saya baca.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku suka dari gaya menceritanya yang kadang misterius.

      Hapus